Selasa, 01 September 2015

Kolam Susah

Link Asli : https://youtu.be/Gr3wLOwD0SQ


Pengaalan lirik lagu di video.


Bukan lautan hanya kolam susah
Indonesia selalu banyak masalah
Dari kasus KKN sampai Narkoba
Dari maluku sampai malu semua

Bukan lautan hanya kolam susah
Tanah adat terjadi huru hara
Apa sebab apa sebabnya kenapa
Katanya rakyat kecil minta merdeka

Orang bilang tanah kita tanah surga
Kok korupsi dan kolusi membudaya
Orang bilang negri ini reformasi
Kok masih banyak tikus-tikus berdasi

Ini salah siapa ini dosa siapa?
Anda nggak bisa jawab kami pun geleng kepala



Rabu, 20 Mei 2015

Reformasi


Masalah-masalah besar yang menimpa kita sebagai manusia, sebagai warga negara, sebagai rakyat Indonesia, sebagai kumpulan masyarakat. Tidak terutama terletak di toko-toko yang terbakar, tidak terutama terletak pada ratusan manusia yang dibantai dan terusir keluar kampung halamannya, tidak terutama terletak pada bentrok terus menerus yang terjadi di berbagai tempat, juga tidak terletak di pedang yang diacung-acungkan atau barangkali peluru yang ditembakkan.

Masalah yang besar itu terutama sesungguhnya terletak di dalam kepala dan dada kita sendiri, terletak di dalam cara kita menyikapi hidup, terletak di dalam pandangan kita mengenai manusia, mengenai nilai, terletak di dalam cara berfikir kita, didalam moral kita dan didalam ilmu kita yang banyak keliru dalam menata kebersamaan kehidupan sebagai sebuah bangsa.

Kalau anda menaruh tanaman di dalam rumah di dekat jendela, anda perhatikan tanaman itu akan cenderung mengarah ke cendela, cenderung mencari sumber cahaya. Burung-burung di kutub dan di tempat lain pada musim tertentu, berhijrah dari tempat yang pada musim tertentu kurang mengandung makanan dan kesehatan baginya. Mereka melintasi benua-benua, mereka mencari tempat yang lebih menyehatkan dan mensejahterekan mereka. Tanaman dan burung saja mengerti bagaimana berhijrah dari kegelapan menuju cahaya.

Reformasi semestinya hijarah dari kegelapan menuju cahaya. Berhijrah dari hati yang beku kepada hati yang lembut dan lunak kepada saudara-saudaranya. Berhijrah dari fikiran yang tidak adil menuju fikiran yang boyektif yang menyelamatkan semua orang. Berhijrah dari kedengkian menuju kasih sayang. Berhijrah dari kebencian menuju cinta. Berhijrah dari egoisme menuju kebersamaan. Berhijrah dari ketidaktertataan menuju tatanan-tatanan, shof-shof yang baik sebagai masyarakat, oraganisasi dan manajemen yang baik sebagai sebuah bangsa. Berhijrah dari kegelapan menuju cahaya.

Itulah yang harus kita lakukan bersama-sama dan sendiri-sendiri berangkat dari ketulusan hati kita sendiri dan dari keadilan fikiran kita masing-masing.


Gerhana Rembulan

Gerhana rembulan hampir total.

Malam gelap gulita.

Matahari berada pada satu garis dengan bumi dan rembulan.

Cahaya matahari yang memancar ke rembulan tidak sampai ke permukaan rembulan karena ditutupi oleh bumi sehingga rembulan tidak bisa memantulkan cahaya matahari ke permukaan bumi.

Matahari adalah lambang Tuhan, cahaya matahari adalah rahmat nilai kepada bumi yang semestinya dipantulkan rembulan.

Remblan adalah para kekasih Allah, para Rasul, para Nabi, para Ulama, para Cerdik Cendekia, para Pujangga dan siapapun saja yang memantulkan cahaya matahari atau nilai-nilai Allah untuk mendayagunakannya di bumi.

Karena bumi menutupi cahaya matahari, maka malam gelap gulita.
Dan didalam kegelapan segala yang buruk terjadi. 

Orang tidak bisa menatap wajah orang lainnya secara jelas, orang menyangka kepala adalah kaki, orang menyangka utara adalah selatan.
Orang bertabrakan satu sama lain.
Orang tidak sengaja menjegal satu sama lain atau bahkan sengaja saling menjegal satu sama lain.

Di dalam kegelapan orang tidak punya pedoman yang jelas untuk melangkah, akan kemana melangkah dan bagaimana melangkah.

Ilir-ilir, kita memang sudah 'ngelilir' kita sudah bangun sudah bangkit bahkan kaki kita sudah berlari  kesana-kemari namun akal fikiran kita belum, hati nurani kita belum.

Kita masih merupakan anak-anak dari orde yang kita kutuk di mulut namun ajaran-ajarannya kita biarkan hidup subur didalam aliran darah dan jiwa kita.
Kita mengutuk perampok dengan cara mengincarnya untuk kita rampok balik.
Kita mencerca maling dengan penuh kedengkian kenapa bukan kita yang maling.
Kita mencaci penguasa lalim dengan berjuang keras untuk bisa menggantikannya.
Kita membenci para pembuat dosa besar dengan cara setan yakni melarangnya untuk insyaf dan bertaubat.
Kita memperjuangkan gerakan anti penggusuran dengan cara menggusur.
Kita menolak pemusnahan dengan merancang pemusnahan-pemusnahan.
Kita menghujat para penindas dengan riang gembira sebagaimana iblis yakni kita halangi usahanya untuk memperbaiki diri.
 

Siapakah selain Setan, Iblis dan Dajjal yang menolak khusnul khotimah manusia, yang memblokade pintu surga, yang menyorong mereka mendekat ke pintu neraka?

Sesudah ditindas kita menyiapkan diri untuk menindas.
Sesudah diperbudak kita siaga untuk ganti memperbudak.
Sesudah dihancurkan kita susun barisan untuk menghancurkan.


Yang kita bangkitkan bukan pembaharuan kebersamaan melainkan asiknya perpecahan.
Yang kita bangun bukan nikmatnya kemesraan tapi menggelegaknya kecurigaan.
Yang kita rintis bukan cinta dan ketulusan melainkan prasangka dan fitnah.
Yang kita perbarui bukan penyembuhan luka melainkan rencana-rencana panjang untuk menyelenggarakan perang saudara.
Yang kita kembangsuburkan adalah kebiasaan memakan bangkai saudara-saudara kita sendiri.
 

Kita tidak memperluas cakrawala dengan menabur cinta melainkan mempersempit dunia kita sendiri dengan lubang-lubang kebencian dan iri hati.


Pilihanku dan pilihanmu adalah apakah kita akan menjadi bumi yang mempergelap cahaya matahari sehinģga bumi kita sendiri tidak akan mendapatkan cahayanya, atau kita berfungsi menjadi rembulan, kita sorong diri kita bergeser ke alam yang lebih tepat agar kita bisa dapatkan sinar matahari dan kita pantulkan nilai-nilai Tuhan itu kembali ke bumi.

Jumat, 24 April 2015

Sorga Neraka di Kaki Ibu

Ibu saya berkata: “Sorga berada di bawah telapak kaki Ibu itu artinya bukan bahwa Ibumu ini berkuasa atasmu, sehingga tidak ada kebaikan bagimu kecuali mematuhi apa saja kata Ibu kepadamu”.

“Sorgamu ada di kakiku, Nak. Jadi amanat Tuhan kepada Ibumu sangat berat. Ibu wajib mensorgakan hidupmu. Ibumu harus memproses kesorgaanmu di dunia dan akhirat. Ibumu wajib bersikap terbuka dan adil agar engkau bisa merundingkan masa depan sorgamu sebaik-baiknya”.

“Sorga di kakiku ini disediakan untukmu, Nak. Tapi neraka di kakiku disediakan buat kita berdua.

Kalau tak kusediakan pendidikan jalan ke sorga untukmu, Ibumu tercampak ke dalam neraka. Kalau hati Ibumu marah atau sakit hati kepadamu tanpa dasar yang Tuhan merelakannya, maka neraka bukan untukmu, melainkan untuk Ibumu”.

“Nak, kalau Ibumu menyediakan jalan neraka bagimu, ingatkanlah aku. Namun kalau kusediakan jalan sorga bagimu, engkau wajib patuh kepadaku”.



 • 

Syair Tukang Bakso


Sebuah pengajian yang amat khusyuk di sebuah masjid kaum terpelajar, malam itu, mendadak terganggu oleh suara dari seorang tukang bakso yang membunyikan piring dengan sendoknya.

Pak Ustad sedang menerangkan makna khauf, tapi bunyi ting-ting-ting-ting yang berulang-ulang itu sungguh mengganggu konsentrasi anak-anak muda calon ulil albab yang pikirannya sedang bekerja keras.

“Apakah ia berpikir bahwa kita berkumpul di masjid ini untuk berpesta bakso!” gerutu seseorang.

“Bukan sekali dua kali ini dia mengacau!” tambah lainnya, dan disambung — “Ya, ya, betul!”

“Jangan marah, ikhwan,” seseorang berusaha meredakan kegelisahan, “ia sekedar mencari makan….”

“Ia tak punya imajinasi terhadap apa yang kita lakukan!” potong seseorang yang lain lagi.

“Jangan-jangan sengaja ia berbuat begitu! Jangan-jangan ia minan-nashara!” sebuah suara keras.

Tapi sebelum takmir masjid bertindak sesuatu, terdengar suara Pak Ustadz juga mengeras: “Khauf, rasa takut, ada beribu-ribu maknanya. Manusia belum akan mencapai khauf ilallah selama ia masih takut kepada hal-hal kecil dalam hidupnya. Allah itu Mahabesar, maka barangsiapa takut hanya kepadaNya, yang lain-lain menjadi kecil adanya.”

“Tak usah menghitung dulu ketakutan terhadap kekuasaan sebuah rezim atau peluru militerisme politik. Cobalah berhitung dulu dengan tukang bakso. Beranikah Anda semua, kaum terpelajar yang tinggi derajatnya di mata masyarakat, beranikah Anda menjadi tukang bakso? Anda tidak takut menjadi sarjana, memperoleh pekerjaan dengan gaji besar, memasuki rumah tangga dengan rumah dan mobil yang bergengsi: tapi tidak takutkah Anda untuk menjadi tukang bakso? Yakni kalau pada suatu saat kelak pada Anda tak ada jalan lain dalam hidup ini kecuali menjadi tukang bakso? Cobalah wawancarai hati Anda sekarang ini, takutkah atau tidak?”

“Ingatlah bahwa tak seorang tukang bakso pun pernah takut menjadi tukang bakso. Apakah Anda merasa lebih pemberani dibanding tukang bakso? Karena pasti para tukang bakso memiliki keberanian juga untuk menjadi sarjana dan orang besar seperti Anda semua.”

Suasana menjadi senyap. Suara ting-ting-ting-ting dari jalan di sisi halaman masjid menusuk-nusuk hati para peserta pengajian.

“Kita memerlukan baca istighfar lebih dari seribu kali dalam sehari,” Pak Ustadz melanjutkan, “karena kita masih tergolong orang-orang yang ditawan oleh rasa takut terhadap apa yang kita anggap derajat rendah, takut tak memperoleh pekerjaan di sebuah kantor, takut miskin, takut tak punya jabatan, takut tak bisa menghibur istri dan mertua, dan kelak takut dipecat, takut tak naik pangkat… Masya Allah, sungguh kita masih termasuk golongan orang-orang yang belum sanggup menomorsatukan Allah!” 



18 Februari 2014

Kurikulum Curang

Saya tak berani memastikan apakah kecurangan termasuk ke dalam kurikulum pelajaran atau pelatihan sepakbola. Tapi setidaknya pendidikan ini tentu dilakukan secara ekstra kurikuler. Setidaknya setiap pemain belajar secara diam-diam, membawa ‘buku kecurangan’, terutama para pemain yang merasa berbakat menjadi ‘petugas pembunuh’.

Jangankan sepakbola, sedangkan Sekolah atau Universitas saja tidak punya urusan dengan kejujuran atau kecurangan. Dunia akademis hanya mengkaitkan diri dengan tahu dan tidak tahu, mengerti dan tidak mengerti, serta pintar atau bodoh.

Adapun jujur atau baik, bukan urusan ilmiah. 



 • 

Juragan Kesurupan

Sesuai dengan judul dari esai ini, saya akan memaparkan kenyataan kehidupan yang seperti itu. Juragan kesurupan, itulah kata yang tepat untuk menggambarkan rakyat Indonesia. Kenapa saya katakan kesurupan, karena juragan tersebut tidaklah menyadari bahwa dirinya adalah juragan. Sama halnya dengan orang kesurupan, dimana ada orang kesurupan yang sadar bahwa dirinya sedang kesurupan?

Kita tentu tahu bahwa Indonesia ini milik rakyat, rakyatlah yang berhak atas apapun yang ada di negara ini. Bahkan semboyan yang sangat melekat adalah 'dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat', dengan kata lain rakyat adalah juragan. Tapi pada kenyataan yang sekarang sedang terjadi bukanlah seperti itu.

Rakyat kini seolah-olah sedang dirasuki roh yang tidak diketahui asalnya. Ia begitu mudah ditipu, diakali bahkan ia sengaja menipu dirinya sendiri. Bagaimana tidak, rakyat yang selama ini bekerja untuk membiayai negara dan para pembantu negara justru dikatakan miskin oleh pembantu tersebut.

Pembantu negara ialah kepala desa, bupati, walikota, gubernur bahkan presiden dan jajarannya. Mereka semua itu dibayar oleh rakyat untuk mengurus negara ini tapi setiap hari bahkan setiap detik mereka berujar diseluruh media bahwa mereka telah memberikan bantuan kepada rakyat miskin. Aapakah mereka tidak tahu bahwa yang mereka sebut rakyat miskin itu merupakan orang-orang yang selama ini membiayai mereka, memberikan upah kepada mereka melalui pajak-pajak yang dibayarkannya.

Itulah cerminan masyarakat modern yang tujuan hidupnya hanya untuk mencari kekayaan dan mencari ketenaran. Apapun caranya akan dilakukan oleh orang-orang modern untuk membuat dirinya menjadi terkenal dan kaya termasuk dengan cara menghina juragannya sendiri. Apakah mereka salah? Tentu kita tidak bisa semata-mata menyalahkan si pembantu yang kurang ajar. Kita juga patut menyalahkan juragannya, kenapa dia rela dihina oleh pembantunya padahal dia tahu tentang semua itu. Itu karena si juragan memang sedang kesurupan.

Pakaian Selebritis

Anda tentu telah membaca atau mendengar dari banyak massmedia bahwa saya ini termasuk kaum selebritis. Agar supaya lebih mantap sekarang saya niati untuk menampilkan keselebritisan saya.

Selebritis itu menggambarkan suatu gaya hidup. Ciri dan spesifikasinya adalah kemewahan. Seperti sarung dan kaos saya ini. Cobalah jalan di kota-kota besar, di daerah-daerah elite dan metropolitan: orang yang berpakaian seperti saya ini sangat sedikit. Artinya, pakaian saya ini mewah. Kebanyakan orang pakai baju, atau paling-paling jas, dasi, sepatu.

Sedangkan bagi saya sepatu itu koden, sangat banyak orang sudah memakainya. Jadi tidak mewah. 
Sudah lebih 15 tahun saya tidak pakai sepatu.

Sarung ini — mana ada orang pergi ngantor atau ke restoran pakai sarung? Berarti mereka orang kebanyakan. Bukan selebritis sebagaimana saya.

Apalagi kaos ini. Perhatikan dengan seksama. Ini jenis kaos khas Michael Jackson. 


 • 

Staf Khusus

Ada anak-anak kecil menjajakan makanan di perempatan jalan. Sebagian yang lainnya meminta-minta. Karena inisiatifnya sendiri atau dipekerjakan oleh orangtuanya, atau diorganisir oleh bos komunitasnya, sebagaimana juga yang mungkin terjadi pada para penyandang lepra yang dijadikan armada pengemis di berbagai tempat strategis kota-kota besar.

Di buku mana nama-nama mereka kita daftar? Kepada siapa nasib mereka kita adukan? Di lembaran formulir peradaban manusia pandai modern yang mana jumlah mereka dihitung?

Ada orang bijak berkata: “Jangan kawatir. Nasib mereka ada di tangan Tuhan”.

Apakah itu berarti Tuhan membebaskan ummat manusia, negara dan organisasi-organisasi kehidupan dalam sejarah, dari tanggung jawab dan kasih sayang kepada mereka?

Dengan kata lain: apakah Tuhan dijadikan staf khusus manusia yang bertugas mengurusi masyarakat yang menderita? 


 •   

Blessing dan Ndilalah

Kata kebenaran, padanannya adalah the thruth, atau bahasa Arabnya: al-haq. Kita pakai kata itu ketika menjelaskan firman Tuhan, teologi, hukum, moral dan lain sebagainya.

Sedangkan kebetulan, akronim yang dipakai biasanya adalah blessing in disguise. Bahasa Al Qur’annya “min haitsu la yahtasib”. Bahasa Kejawennya: ndilalah, atau lengkapnya ndilalah kersaning Allah.

Istilah kebetulan biasanya dipakai untuk menjelaskan nasib baik yang tak disengaja, keberuntungan yang di luar perhitungan. Ya itu tadi: min haitsu la yahtasib, dari sesuatu yang tidak engkau perhitungkan. Kalau saya dianiaya orang, saya langsung kutip kata-kata Allah itu: min haitsu la yahtasib!, ada sesuatu yang tak engkau sangka-sangka akan mendatangimu. Atau ndilalah, yang bahasa aslinya: ‘indallah, atas kehendak Allah.

Pertanyaan kita adalah: mosok kehendak Allah itu hanya kebetulan, dan bukan kebenaran. 


 • 

Memukul dan Tidak Bermusuhan

Bertinju di ring masih lumayan moralnya. Mereka saling rela memukul dan dipukul karena suatu tekad profesional, aturannya jelas, berlangsung transparan, dan mereka bertinju tidak dalam rangka bermusuhan, membenci atau menguasai sebagai sesama manusia.

Ada pertinjuan yang lebih kejam dari itu, yakni mekanisme orang ditinju, dipukul, dan disakiti di berbagai bidang kehidupan tanpa orang itu rela disakiti dan tak punya kewajiban apa pun untuk disakiti.

Kalau kita berpikir kuantitatif, tinju hanya ada di ring tinju. Tapi dengan berpikir kualitatif kita bisa menemukan petinju di Istana Negara, di gedung parlemen, di kantor-kantor kementerian, Gubernur hingga Lurah. Sejauh ini rakyat hampir selalu kalah KO. 



 • 

Betul dan Benar

Mohon maaf tak sengaja Anda terpaksa ketemu saya lagi.

Mulai sekarang Anda sebaiknya bersikap waspada dalam memperhitungkan saat-saat kapan, jam berapa saja, terdapat kemungkinan kita dipertemukan tanpa sengaja.

Demi Tuhan tak ada maksud saya untuk memergoki atau menjebak Anda. Pertemuan kita ini semata-mata kebetulan saja.

Kebetulan itu asal katanya “betul”. Betul itu sama dengan “benar”. Tapi saya tidak berani mengusulkan kepada Anda agar menyepakati bahwa kebetulan itu juga sama dengan kebenaran — meskipun selama ini masyarakat kita memahami kata “kebetulan” sangat-sangat berbeda dengan makna “kebenaran”.

Tak ada Ulama atau Pendeta yang berkhutbah: “Para Nabi dan Rasul telah membawa kebetulan….”. Pasti mereka katakan: “Membawa kebenaran”.

Tentu Anda yang bisa menjelaskan kepada saya apa beda antara benar dengan betul. 



 • 

Pembunuh dan Penyembelih

Seusai mengaji Al-Qur’an bersama, disebuah surau, terdengar suara Pak Guru berbicara tentang keburukan kepada murid-muridnya.

“Kenapa dalam kenduri tadi malam tak kita sebut Fulan membunuh ayam, melainkan Fulan menyembelih ayam? Kenapa Fulan tidak disebut pembunuh, melainkan penyembelih?”

“Karena kebaikan dan keburukan itu bentuk pekerjaanya bisa sama, tetapi berbeda perhubungan nilai dan haknya. Kalian menggenggam sebilah pedang, kemarin kalian menebaskannya ke dahan pohon, hari ini ke leher seseorang. Yang kalian lakukan semata mata menebaskan pedang, tetapi pada tebasan yang kedua, kalian menghadirkan sesuatu tidak pada tempatnya dan tidak pada haknya.”

“Selembar kertas yang bersih kalian hamparkan di atas lantai rumah yang bersih: kertas itu menjadi kotoran pada lantai. Demikian pula jika kalian tidur di tengah jalan raya, sembahyang subuh di siang bolong, atau menyanyikan lagu keras-keras di rumah sakit. Keburukan adalah kebaikan yang tidak diletakkan pada ruang dan waktunya yang tepat.”

“Makan gulai itu baik dan bergizi, tapi ia menjadi kejahatan jika kalian lakukan tanpa berbagi dengan seseorang yang kelaparan yang pada saat itu berada dalam jangkauanmu.”

“Mengucapkan kata-kata, mengungkapkan pengetahuan atau menuturkan ilmu; betapa mulia. Tetapi pada keadaan tertentu yang kalian ucapkan adalah dusta. Jadi mengucapkan (pada menuturkan ilmu) dan mengucapkan (pada berkata dusta) itu berbeda (walaupun sama-sama berkata-kata/mengucapkan sesuatu) seperti perbedaan antara surga dan neraka.”

“Mengambil air di sumur, mengambil bebuahan di ladang atau mengambil uang disaku; baik itu adanya. Tetapi sumur siapa, ladang siapa dan saku siapa: itulah yang menentukan apakah kalian mengambil ataukah mencuri.” 


 •