Ibu saya berkata: “Sorga berada di bawah telapak kaki Ibu itu artinya
bukan bahwa Ibumu ini berkuasa atasmu, sehingga tidak ada kebaikan
bagimu kecuali mematuhi apa saja kata Ibu kepadamu”.
“Sorgamu ada di kakiku, Nak. Jadi amanat Tuhan kepada Ibumu
sangat berat. Ibu wajib mensorgakan hidupmu. Ibumu harus memproses
kesorgaanmu di dunia dan akhirat. Ibumu wajib bersikap terbuka dan adil
agar engkau bisa merundingkan masa depan sorgamu sebaik-baiknya”.
“Sorga di kakiku ini disediakan untukmu, Nak. Tapi neraka di
kakiku disediakan buat kita berdua. Kalau tak kusediakan pendidikan
jalan ke sorga untukmu, Ibumu tercampak ke dalam neraka. Kalau hati
Ibumu marah atau sakit hati kepadamu tanpa dasar yang Tuhan
merelakannya, maka neraka bukan untukmu, melainkan untuk Ibumu”.
“Nak, kalau Ibumu menyediakan jalan neraka bagimu, ingatkanlah
aku. Namun kalau kusediakan jalan sorga bagimu, engkau wajib patuh
kepadaku”.
Sebuah pengajian yang amat khusyuk di sebuah masjid kaum terpelajar,
malam itu, mendadak terganggu oleh suara dari seorang tukang bakso yang
membunyikan piring dengan sendoknya.
Pak Ustad sedang menerangkan makna khauf, tapi bunyi
ting-ting-ting-ting yang berulang-ulang itu sungguh mengganggu
konsentrasi anak-anak muda calon ulil albab yang pikirannya sedang
bekerja keras.
“Apakah ia berpikir bahwa kita berkumpul di masjid ini untuk berpesta bakso!” gerutu seseorang.
“Bukan sekali dua kali ini dia mengacau!” tambah lainnya, dan disambung — “Ya, ya, betul!”
“Jangan marah, ikhwan,” seseorang berusaha meredakan kegelisahan, “ia sekedar mencari makan….”
“Ia tak punya imajinasi terhadap apa yang kita lakukan!” potong seseorang yang lain lagi.
“Jangan-jangan sengaja ia berbuat begitu! Jangan-jangan ia minan-nashara!” sebuah suara keras.
Tapi sebelum takmir masjid bertindak sesuatu, terdengar suara Pak Ustadz juga mengeras: “Khauf,
rasa takut, ada beribu-ribu maknanya. Manusia belum akan mencapai khauf
ilallah selama ia masih takut kepada hal-hal kecil dalam hidupnya.
Allah itu Mahabesar, maka barangsiapa takut hanya kepadaNya, yang
lain-lain menjadi kecil adanya.”
“Tak usah menghitung dulu ketakutan terhadap kekuasaan sebuah
rezim atau peluru militerisme politik. Cobalah berhitung dulu dengan
tukang bakso. Beranikah Anda semua, kaum terpelajar yang tinggi
derajatnya di mata masyarakat, beranikah Anda menjadi tukang bakso? Anda
tidak takut menjadi sarjana, memperoleh pekerjaan dengan gaji besar,
memasuki rumah tangga dengan rumah dan mobil yang bergengsi: tapi tidak
takutkah Anda untuk menjadi tukang bakso? Yakni kalau pada suatu saat
kelak pada Anda tak ada jalan lain dalam hidup ini kecuali menjadi
tukang bakso? Cobalah wawancarai hati Anda sekarang ini, takutkah atau
tidak?”
“Ingatlah bahwa tak seorang tukang bakso pun pernah takut menjadi
tukang bakso. Apakah Anda merasa lebih pemberani dibanding tukang
bakso? Karena pasti para tukang bakso memiliki keberanian juga untuk
menjadi sarjana dan orang besar seperti Anda semua.”
Suasana menjadi senyap. Suara ting-ting-ting-ting dari jalan di sisi halaman masjid menusuk-nusuk hati para peserta pengajian.
“Kita memerlukan baca istighfar lebih dari seribu kali dalam
sehari,” Pak Ustadz melanjutkan, “karena kita masih tergolong
orang-orang yang ditawan oleh rasa takut terhadap apa yang kita anggap
derajat rendah, takut tak memperoleh pekerjaan di sebuah kantor, takut
miskin, takut tak punya jabatan, takut tak bisa menghibur istri dan
mertua, dan kelak takut dipecat, takut tak naik pangkat… Masya Allah,
sungguh kita masih termasuk golongan orang-orang yang belum sanggup
menomorsatukan Allah!”
Saya tak berani memastikan apakah kecurangan termasuk ke dalam
kurikulum pelajaran atau pelatihan sepakbola. Tapi setidaknya pendidikan
ini tentu dilakukan secara ekstra kurikuler. Setidaknya setiap pemain
belajar secara diam-diam, membawa ‘buku kecurangan’, terutama para
pemain yang merasa berbakat menjadi ‘petugas pembunuh’.
Jangankan sepakbola, sedangkan Sekolah atau Universitas saja
tidak punya urusan dengan kejujuran atau kecurangan. Dunia akademis
hanya mengkaitkan diri dengan tahu dan tidak tahu, mengerti dan tidak
mengerti, serta pintar atau bodoh.
Sesuai dengan judul dari esai ini, saya akan memaparkan kenyataan kehidupan yang seperti itu. Juragan kesurupan, itulah kata yang tepat untuk menggambarkan rakyat Indonesia. Kenapa saya katakan kesurupan, karena juragan tersebut tidaklah menyadari bahwa dirinya adalah juragan. Sama halnya dengan orang kesurupan, dimana ada orang kesurupan yang sadar bahwa dirinya sedang kesurupan?
Kita tentu tahu bahwa Indonesia ini milik rakyat, rakyatlah yang berhak atas apapun yang ada di negara ini. Bahkan semboyan yang sangat melekat adalah 'dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat', dengan kata lain rakyat adalah juragan. Tapi pada kenyataan yang sekarang sedang terjadi bukanlah seperti itu. Rakyat kini seolah-olah sedang dirasuki roh yang tidak diketahui asalnya. Ia begitu mudah ditipu, diakali bahkan ia sengaja menipu dirinya sendiri. Bagaimana tidak, rakyat yang selama ini bekerja untuk membiayai negara dan para pembantu negara justru dikatakan miskin oleh pembantu tersebut. Pembantu negara ialah kepala desa, bupati, walikota, gubernur bahkan presiden dan jajarannya. Mereka semua itu dibayar oleh rakyat untuk mengurus negara ini tapi setiap hari bahkan setiap detik mereka berujar diseluruh media bahwa mereka telah memberikan bantuan kepada rakyat miskin. Aapakah mereka tidak tahu bahwa yang mereka sebut rakyat miskin itu merupakan orang-orang yang selama ini membiayai mereka, memberikan upah kepada mereka melalui pajak-pajak yang dibayarkannya.
Itulah cerminan masyarakat modern yang tujuan hidupnya hanya untuk mencari kekayaan dan mencari ketenaran. Apapun caranya akan dilakukan oleh orang-orang modern untuk membuat dirinya menjadi terkenal dan kaya termasuk dengan cara menghina juragannya sendiri. Apakah mereka salah? Tentu kita tidak bisa semata-mata menyalahkan si pembantu yang kurang ajar. Kita juga patut menyalahkan juragannya, kenapa dia rela dihina oleh pembantunya padahal dia tahu tentang semua itu. Itu karena si juragan memang sedang kesurupan.
Anda tentu telah membaca atau mendengar dari banyak massmedia bahwa
saya ini termasuk kaum selebritis. Agar supaya lebih mantap sekarang
saya niati untuk menampilkan keselebritisan saya.
Selebritis itu menggambarkan suatu gaya hidup. Ciri dan
spesifikasinya adalah kemewahan. Seperti sarung dan kaos saya ini.
Cobalah jalan di kota-kota besar, di daerah-daerah elite dan
metropolitan: orang yang berpakaian seperti saya ini sangat sedikit.
Artinya, pakaian saya ini mewah. Kebanyakan orang pakai baju, atau
paling-paling jas, dasi, sepatu.
Sedangkan bagi saya sepatu itu koden, sangat banyak orang sudah memakainya. Jadi tidak mewah. Sudah lebih 15 tahun saya tidak pakai sepatu.
Sarung ini — mana ada orang pergi ngantor atau ke restoran pakai sarung? Berarti mereka orang kebanyakan. Bukan selebritis sebagaimana saya.
Apalagi kaos ini. Perhatikan dengan seksama. Ini jenis kaos khas Michael Jackson.
Ada anak-anak kecil menjajakan makanan di perempatan jalan. Sebagian
yang lainnya meminta-minta. Karena inisiatifnya sendiri atau
dipekerjakan oleh orangtuanya, atau diorganisir oleh bos komunitasnya,
sebagaimana juga yang mungkin terjadi pada para penyandang lepra yang
dijadikan armada pengemis di berbagai tempat strategis kota-kota besar.
Di buku mana nama-nama mereka kita daftar? Kepada siapa nasib
mereka kita adukan? Di lembaran formulir peradaban manusia pandai modern
yang mana jumlah mereka dihitung?
Ada orang bijak berkata: “Jangan kawatir. Nasib mereka ada di tangan Tuhan”.
Apakah itu berarti Tuhan membebaskan ummat manusia, negara dan
organisasi-organisasi kehidupan dalam sejarah, dari tanggung jawab dan
kasih sayang kepada mereka?
Dengan kata lain: apakah Tuhan dijadikan staf khusus manusia yang bertugas mengurusi masyarakat yang menderita?
Kata kebenaran, padanannya adalah the thruth, atau bahasa Arabnya: al-haq. Kita pakai kata itu ketika menjelaskan firman Tuhan, teologi, hukum, moral dan lain sebagainya.
Sedangkan kebetulan, akronim yang dipakai biasanya adalah blessing in disguise. Bahasa Al Qur’annya “min haitsu la yahtasib”. Bahasa Kejawennya: ndilalah, atau lengkapnya ndilalah kersaning Allah.
Istilah kebetulan biasanya dipakai untuk menjelaskan nasib baik
yang tak disengaja, keberuntungan yang di luar perhitungan. Ya itu tadi:
min haitsu la yahtasib, dari sesuatu yang tidak engkau perhitungkan. Kalau saya dianiaya orang, saya langsung kutip kata-kata Allah itu: min haitsu la yahtasib!, ada sesuatu yang tak engkau sangka-sangka akan mendatangimu. Atau ndilalah, yang bahasa aslinya: ‘indallah, atas kehendak Allah.
Pertanyaan kita adalah: mosok kehendak Allah itu hanya kebetulan, dan bukan kebenaran.
Bertinju di ring masih lumayan moralnya. Mereka saling rela memukul
dan dipukul karena suatu tekad profesional, aturannya jelas, berlangsung
transparan, dan mereka bertinju tidak dalam rangka bermusuhan, membenci
atau menguasai sebagai sesama manusia.
Ada pertinjuan yang lebih kejam dari itu, yakni mekanisme orang
ditinju, dipukul, dan disakiti di berbagai bidang kehidupan tanpa orang
itu rela disakiti dan tak punya kewajiban apa pun untuk disakiti.
Kalau kita berpikir kuantitatif, tinju hanya ada di ring tinju.
Tapi dengan berpikir kualitatif kita bisa menemukan petinju di Istana
Negara, di gedung parlemen, di kantor-kantor kementerian, Gubernur
hingga Lurah. Sejauh ini rakyat hampir selalu kalah KO.
Mohon maaf tak sengaja Anda terpaksa ketemu saya lagi.
Mulai sekarang Anda sebaiknya bersikap waspada dalam
memperhitungkan saat-saat kapan, jam berapa saja, terdapat kemungkinan
kita dipertemukan tanpa sengaja.
Demi Tuhan tak ada maksud saya untuk memergoki atau menjebak Anda. Pertemuan kita ini semata-mata kebetulan saja.
Kebetulan itu asal katanya “betul”. Betul itu sama dengan
“benar”. Tapi saya tidak berani mengusulkan kepada Anda agar menyepakati
bahwa kebetulan itu juga sama dengan kebenaran — meskipun selama ini
masyarakat kita memahami kata “kebetulan” sangat-sangat berbeda dengan
makna “kebenaran”.
Tak ada Ulama atau Pendeta yang berkhutbah: “Para Nabi dan Rasul telah membawa kebetulan….”. Pasti mereka katakan: “Membawa kebenaran”.
Tentu Anda yang bisa menjelaskan kepada saya apa beda antara benar dengan betul.
Seusai mengaji Al-Qur’an bersama, disebuah surau, terdengar suara Pak Guru berbicara tentang keburukan kepada murid-muridnya.
“Kenapa dalam kenduri tadi malam tak kita sebut Fulan membunuh
ayam, melainkan Fulan menyembelih ayam? Kenapa Fulan tidak disebut
pembunuh, melainkan penyembelih?”
“Karena kebaikan dan keburukan itu bentuk pekerjaanya bisa sama,
tetapi berbeda perhubungan nilai dan haknya. Kalian menggenggam sebilah
pedang, kemarin kalian menebaskannya ke dahan pohon, hari ini ke leher
seseorang. Yang kalian lakukan semata mata menebaskan pedang, tetapi
pada tebasan yang kedua, kalian menghadirkan sesuatu tidak pada
tempatnya dan tidak pada haknya.”
“Selembar kertas yang bersih kalian hamparkan di atas lantai
rumah yang bersih: kertas itu menjadi kotoran pada lantai. Demikian pula
jika kalian tidur di tengah jalan raya, sembahyang subuh di siang
bolong, atau menyanyikan lagu keras-keras di rumah sakit. Keburukan
adalah kebaikan yang tidak diletakkan pada ruang dan waktunya yang
tepat.”
“Makan gulai itu baik dan bergizi, tapi ia menjadi kejahatan jika
kalian lakukan tanpa berbagi dengan seseorang yang kelaparan yang pada
saat itu berada dalam jangkauanmu.”
“Mengucapkan kata-kata, mengungkapkan pengetahuan atau menuturkan
ilmu; betapa mulia. Tetapi pada keadaan tertentu yang kalian ucapkan
adalah dusta. Jadi mengucapkan (pada menuturkan ilmu) dan mengucapkan
(pada berkata dusta) itu berbeda (walaupun sama-sama
berkata-kata/mengucapkan sesuatu) seperti perbedaan antara surga dan
neraka.”
“Mengambil air di sumur, mengambil bebuahan di ladang atau
mengambil uang disaku; baik itu adanya. Tetapi sumur siapa, ladang siapa
dan saku siapa: itulah yang menentukan apakah kalian mengambil ataukah
mencuri.”