Kamis, 03 Mei 2012

Kisah Dokter Penyihir Dari NEPAL

Suatu hari di Kathmandu, Nepal, yang dikelilingi pegunungan tinggi atap dunia, seorang dokter melihat mata pasiennya melalui mikroskop yang menggantung di atas meja operasi.


Dua sayatan kecil ditorehkan pada bola mata itu, lalu ia mengangkat benda mirip jeli, lensa mata alami yang telah keruh, menggantinya lensa buatan yang dibuat pas dengan mata manusia. Hanya butuh waktu lima menit bagi jari jemarinya yang lincah untuk melakukan operasi katarak.


Cara itu membuat pasien bisa meninggalkan meja operasi tanpa jahitan sama sekali. Sang dokter lalu mengulangi prosedur yang sama ke ratusan pasien yang menunggu giliran.


Nama dokter itu Sanduk Ruit, pria asli Nepal. Bagi dunia medis, ia adalah pelopor operasi katarak sederhana berbiaya murah. Bagi kaum miskin yang terancam atau terlanjur buta karena, ia adalah harapan, 'dokter ajaib', bahkan 'Dewa Penglihatan'.


Tak hanya mengembangkan teknik small inscision cataract, operasi dengan sayatan kecil, ia dan timnya juga mengembangkan lensa yang murah, tapi berkualitas.


Sebelum metodenya ini terbukti berhasil, Ruit dan timnya di Tilganga Eye Center sebelumnya harus melakukan operasi secara sembunyi-sembunyi selama enam bulan, karena caranya ini dianggap berisiko di awal tahun 1990-an.


"Kami mencoba untuk membuat model di mana kita bisa melakukan program pencegahan kebutaan dengan biaya rendah dan berkelanjutan," kata Ruit seperti dimuat Reuters. "Jika bisa dilakukan di Nepal, itu berarti bisa dilakukan  di manapun di dunia." Bahkan di dalam tenda atau rumah sakit darurat.


Ruit mengatakan, setidaknya ada 20 juta orang di dunia yang mengalami kebutaan akibat katarak. Sementara 60 juta lainnya berada dalam tahapan buta. Sayangnya, banyak dari mereka yang berasal dari negara berkembang, bahkan miskin, sehingga tak mampu membayar biaya operasi agar mata mereka bisa kembali melihat.


Tim Ruit juga membuat lensa mata buatan berbiaya rendah, lensa intraokular sebanyak 350.000 setahun. Produksi ini membuat harga lensa turun, menjadi hanya sekitar US$4, jauh dibandingkan dengan lensa impor yang berbiaya US$100.


"Sihir"
Teknik sederhana, lensa yang murah, otomatis biaya operasi juga bisa ditekan. Di negara Barat, operasi katarak bisa menguras kantong pasien hingga US$3.000. Di Nepal jauh lebih murah. Orang kaya di sana maksimal merogoh kocek setara US$300, sementara biaya rata-rata adalah US$115. Bagi yang tak mampu, bahkan bisa gratis.


"Keindahan dari teknik ini adalah membuka peluang bagi kami untuk menutupi biaya operasi kaum miskin, semacam subsidi silang," kata Ruit.


Pria 56 yang belajar ilmu kedokteran di India itu juga menyelenggarakan pelatihan bagi para dokter yang berniat meniru caranya. "Mendapatkan pelatihan di  negara maju tak hanya mahal, tapi sulit. Sementara di sini, sangat mudah dan menyenangkan," kata dokter asal Ethiopia, Fikru Melka (49) yang menimba ilmu pada Ruit.


Dedikasi tanpa henti akhirnya membuahkan hasil, selain mendapat pengakuan, Ruit dan timnya juga mendapat dukungan dari banyak pihak. "Seperti penyihir, ia mengembalikan penglihatan saya," kata Krishna Kant Paudel, 81. Untuk kali pertamanya dalam 4 tahun, ia akhirnya bisa melihat dunia.


Untuk diketahui, katarak adalah momok bagi masyarakat di negara miskin dan berkembang. Contoh kasus Nepal, penyakit itu adalah penyebab utama kebutaan.


Padahal, hampir seperempat penduduk Nepal hidup dengan pendapatan minim, yang tak mampu membayar biaya operasi, semurah apapun itu.


Sementara, sebagian orang sengaja menghindari pengobatan, mereka yakin kebutaan adalah karma, dari kesalahan yang mungkin mereka lakukan di kehidupan sebelumnya. Kemajuan yang dilakukan Ruit dan timnya membuat kepercayaan itu terkikis.


Ruit ingat, suatu hari ia tergerak oleh seorang perempuan penderita katarak, yang dalam kondisi buta, melahirkan anak laki-laki. Setelah empat tahun, paska dioperasi, ia akhirnya bisa melihat wajah putranya yang telah balita untuk kali pertamanya.


Awalnya, perempuan takjub melihat putranya itu, ia lalu melompat dan menggendongnya. Air mata bahagia meleleh di matanya sembari menciumi buah hatinya itu. "Hatiku tergerak oleh ekspresi wajahnya. Sungguh luar biasa kekuatan dari sebuah inovasi (bedah) yang sesungguhnya sederhana," kata Ruit dengan mata berkaca-kaca.


Hingga saat ini Ruit telah melakukan 125.000 operasi, termasuk di klinik lapangan di Nepal, Korea Utara, China, Indonesia, India, Ghana, dan Nigeria.


Kisah lucu terjadi saat ia melakukan operasi massal di Korea Utara, kala itu sang "Dear Leader", Kil Jong-il masih hidup dan berkuasa.


Dalam sebuah film dokumenter digambarkan, alih-alih berterima kasih pada tim dokter yang jauh-jauh datang dan bekerja keras, para pasien yang sembuh dan bisa melihat kembali, sontak berlari ke depan foto Kim Jong-il dan Kim Il-sung yang terpampang di muka aula.


Mereka mengucapkan terimakasih dengan suara keras -- diikuti tepuk tangan semua orang yang berada di sana -- membungkuk dalam-dalam, menangis dengan penuh rasa syukur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar